Pengalaman tenangnya hidup di desa
Tenang dan sederhana, 2 kata yang terbersit dibenakku jika diminta untuk menggambarkan kehidupan di desa ini. Setelah empat hari dan tiga malam mendampingi anak-anak muridku di SMA Al Izhar Pondok Labu yang sedang melakukan live-in dan penelitian di desa ini, aku merasa damai dan bahagia. Bagaimana tidak, karena jauh dari kota yang macet dan tak beraturan.
Desa Gempol adalah salah satu desa diwilayah kecamatan Pusakanagara, kabupaten Subang. Desa ini terletak hanya beberapa kilometer dari jalan Pantura (Pantai Utara), antara Pamanukan dengan Indramayu.
Akses jalan ke desa Gempol dari jalur Pantura dapat dikategorikan bagus meski ada beberapa sisi jalan yang bergelombang dan sedikit rusak. Luas wilayah desa Gempol adalah 353.315 hektar. Desa Gempol adalah desa tertua di kecamatan Pusakanagara. Suku di desa Gempol adalah Sunda dan Jawa, mayoritas penduduk berbahasa Sunda dan pandai menggunakan bahasa jawa khas pantura. Desa Gempol memiliki 2 dusun, 16 RT dengan jumlah penduduk sekitar 2000 orang. Desa ini dipimpin oleh Bapak Sanudi sebagai kepala desanya.
Desa Gempol yang mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah petani baik pemilik sawah dan buruh tini. Desa ini memiliki lahan sawah dan kebun mangga yang luas.
Selain melakukan program live-in dan penelitian, kami melakukan youth community service sebagai salah satu bentuk kepedulian kami terhadap penduduk desa. Kami membantu menggantikan guru di SDN Otto Iskandardinata serta membantu membersihkan tempat wudu masjid jami Al Barokah yang menurut kami perlu dibersihkan dan beberapa sedikit perbaikan dan penambahan.
Selain itu, di desa ini terdapat pusat kesenian Sisingaan yang bernama Warlan Muda, yaitu salah satu jenis seni pertunjukan rakyat khas Subang berupa keterampilan memainkan tandu boneka singa berpenunggang. Di dalam pertunjukannya ditambahkan atraksi pertunjukan debus.
Alhamdulillah kami mendapatkan kesempatan untuk dapat menyaksikan pertunjukkan tersebut. Bagi beberapa kecil anak-anak muridku, mereka menganggap pertunjukan tersebut adalah nyata meskipun realitanya tidak berbeda dengan festival drama yang mereka pernah lakukan pada saat mereka kelas X, wajar jika mereka terkaget dan kabur saat melihat pertunjukkan ini karena ada adegan horor berupa “penyembelihan manusia” dan “pocong”. Namun masih banyak ada yang berani menonton sampai akhir. Aku tidak dapat merekam pertunjukkannya namun ini ada link di youtube yang dapat menggambarkan pertunjukkannya. Semua aksi ini menandakan adanya jiwa seni yang kuat dari masyarakat lokal.
Komentar
Posting Komentar