Pengertian Masyarakat majemuk dan permasalahan yang dihadapi
MASYARAKAT MAJEMUK
Sebagian besar masyarakat di dunia adalah masyarakat yang bersifat heterogen atau majemuk. Hanya sedikit masyarakat di dunia yang tergolong masyarakat yang homogen. Menurut Koentjaraningrat, sejumlah negara yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang homogen adalah sebagai berikut :
- Austria
- Denmark
- Jerman
- Islandia
- Jepang
- Portugal
- Somalia
- Swaziland
- Norwegia (tanpa Lapps)
- Belanda (tanpa Friezen)
Bangsa Indonesia hidup dalam suatu masyarakat majemuk (plural society), yaitu suatu masyarakat yang terwujud dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh suatu sistem nasional menjadi suatu bangsa dalam wadah negara.
Baca Juga :
- contoh masyarakat majemuk
- perbedaan masyarakat majemuk dan multikultural
- contoh masyarakat majemuk dengan fragmentasi
- masyarakat majemuk adalah
- karakteristik masyarakat majemuk
- ciri masyarakat majemuk
- pengertian masyarakat majemuk menurut para ahli
- masyarakat multikultural
Masalah pertama yang paling kritikal dalam masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintahan nasional denan masyarakat-masyarakat suku bangsa. Masalah ini muncul karena sistem nasional dianggap oleh masyarakat-masyarakat suku bangsa sebagai mengambil alih dan menguasai wilayah suku bangsa yang secara tradisional menjadi hak ulayat mereka. Pengambilalihan dilakukan dengan menggunakan kekuatan politik dan kekuatan hukum yang didukung oleh militer dan polisi.
Masalah kedua yang dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah apabila pemerintahan pusat yang selama ini menguasai masyarakat-masyarakat suku bangsa melalui aparat keamanan dan kepolisian mengalami kemunduran dan menjadi lemah, maka akan mendorong proses penguatan identitas kesukubangsaan dan pada akhirnya mendorong munculnya gerakan separatis sebagaimana yang terjadi ketika pemerintah Orde Baru runtuh dan ketika Uni Soviet mengalami kemunduran.
Masalah ketiga adalah bahwa masyarakat majemuk telah secara aktual dibangun berdasarkan atas kekuasaan penguasa yang mau tidak mau akan harus bertindak otoriter dan militeristik untuk tetap dapat mempertahankan kekuasananya.
Masalah keempat adalah muncul dari permasalahan-permasalahan sebelumnya, yaitu corak administratif pemerintahan dan birokrasi nasional yang patrimonial atau paternalistik, yang pada dasarnya adalah pemerintahan yang bercorak feodal, di mana di bawah pemerintahan Soeharto, rezim Orde Baru dibangun atas dasar kesukubangsaan Jawa dan feodalisme, yang para pejabat-penguasa serta birokrat yang membangun dan mempertahankan kekuasaan dan berbagai hak istimewa atas sumber-sumber daya ekonomi dan politik atas alam serta fisik dan manusia dengan mengacu kepada kekerabatan, kesukubangsaan, dan keyakinan keagamaan.
Corak masyarakat majemuk mempertahankan jenjang sosial askriptif dan mengembangkan jenjang-jenjang sosial dan kelas-kelas sosial. Saling memengaruhi antara keempat masalah tersebut di atas dengan keberadaan dan tajamnya batas-batas sosial dan kelas sosial dalam masyarakat majemuk Indonesia adalah adanya dan munculnya golongan minoritas.
Bersamaan dengan itu muncul stereotip dan prasangka yang memeprkuat kesukubangsaan dan primordialisme yang sewaktu-waktu berubah coraknya menjadi solidaritas suku bangsa dan atau solidaritas komuniti dalam kompetisi atas sumber-sumber daya ekonomi dan sosial budaya yang menghasilkan konflik-konflik berdarah antarsukubangsa dan antarkeyakinan keagamaan serta konflik-konflik komunal atau antarkomuniti.
Masyarakat majemuk merupakan sebuah konsep yang didasarkan atas konsep Durkhemian. Menurut konsep tersebut, masyarakat majemuk dianggap sebagai suatu Fakta Sosial, yang harus diterima apa adanya yang bersifat memengaruhi bahkan menentukan corak hubungan sosial di dalammasyarakat. Masyarakat majemuk antara lain memiliki ciri sebagai berikut :
Keragaman suku bangsa ;
Masyarakat majemuk dicirikan dengan adanya keragaman suku bangsa, Indonesia sendiri memiliki lebih dari 300 suku bangsa dan kelompok sub etnik lainnya. Keragaman suku bangsa ini dilatarbelakangi oleh adanya isolasi geografis yang memisahkan pulau yang stau dengan pulau yang lainnya di Indonesia.Menurut Koentjaraningrat, sukubangsa di Indonesia terbagi ke dalam tiga kategori sebagai berikut ;
- Golongan suku bangsa
- Golongan masyarakat keturunan asing seperti golongan Tionghoa, Arab, India, dan Indo-Eropa
- Golongan masyarakat terasing seperti :
- Asmat, dani (Papua)
- Anak suku dalam (jambi)
- Badui (Banten)
- Orang Laut
- Donggo (Sumbawa)
- Punan (Kalimantan)
- Tajio, Amma Toa (Sulteng)
- Togutil (Halmahera)
Adanya kelompok dominan :
Masyarakat majemuk ditandai oleh adanya kelompok dominan. Kelompok dominan adalah kelompok yang dicirikan antara lain ; pertama, secara jumlah mereka merupakan kelompok dengan jumlah yang paling banyak atau mayoritas, kedua, mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai aspek kehidupan baik politik dan ekonomi.
Adapun yang menjadi kelompok dominan dalam masyarakat majemuk di Indonesia adalah etnis Jawa. Etnis Jawa merupakan etnis yang memiliki anggota yang paling banyak yang tersebar bukan saja di Pulau Jawa tetapi juga sejumlah pulau besar lainnya melalui proses transmigrasi.
Status ascribed :
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, seseorang lebih dilihat sebagai bagian dari kelompok bukan dilihat prestasi yang dilakukannya. Seserang dilihat dari latar belakang primordialnya, baik ras, suku, dan agamanya. Cara pandang semacam itulah yang seringkali mendorong munculnya diskriminasi, dan dalam konteks ini yang cenderung mengalami diskriminasi adalah kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok minoritas.
Dikenal konsep mayoritas-minoritas :
Antara anggota-anggota mayoritas dan minoritas terdapat prasangka dan diskriminasi. Kedua gejala ini seringkali berkembang menjadi konflik yang hebat. Munculnya diskriminasi, prasangka dan berbagai konflik antara kedua golongan tersebut terutama terlihat ketika terjadi krisis.Bila kondisi ini tidak ada maka juga tidak muncul persoalan minoritas.
Suatu golongan minoritas adalah golongan yang dalam cara-cara hidup, perekonomian atau dalam hal-hal lain belum terintegrasi ke dalam masyarakat mayoritas. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan kedua golongan itu tidak saling mengenal satu sama lain.
Konsep mayoritas dan minoritas ini terdapat dalam struktur masyarakat majemuk. Dalam masyarakat majemuk menurut Van Den Berghe terdapat berbagai kelompok yang memiliki struktur yang non komplementer dan terpisah satu sama lainnya.
Adanya konsep mayoritas dan minoritas dalam masyarakat majemuk mengakibatkan seseorang individu dilihat bukan sebagai individu atau warga negara melainkan dilihat sebagai anggota sebuah golongan sosial, sehingga, kesalahan yang dilakukan oleh individu dianggap juga sebagai kesalahan kelompok.
Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan tindak kriminalitas maka akan diberi label sebagai seseorang dari suku X, sehingga dengan demikian akan memperkuat stereotype dan prasangka terhadap suku X tersebut.
Hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas merupakan persoalan dan dilema yang dialami oleh banyak negara di dunia. Masalah tersebut bahkan seringkali menjadi ancaman bagi integrasi dan masa depan negara dan bangsa yang bersangkutan. Runtuhnya Uni Soviet, Pecahnya Yugoslavia dan pemisahan Cekoslowakia menunjukkan betapa besar permasalahan yang terkait dengan dimensi hubungan antara mayoritas etnik/agama/ras dengan kelompok minoritas.
Indonesia pun tidak terlepas dari persoalan mayoritas dan minoritas. Permasalahan ini seringkali menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan politik dan mengakibatnya munculnya berbagai gejolak seperti pemberontakan dan gerakan separatisme.
Ada diskriminasi :
Diskriminasi menurut Banton adalah perbedaan perlakuan yang dialami oleh individu berdasarkan kategori kelompok. Melalui diskriminasi, seseorang dihambat dalam mendapatakan kebutuhannya dikarenakan ia berasal dari kelompok yang berbeda. Diskriminasi biasanya dialami oleh mereka yang berasal dari kalangan minoritas, baik minoritas etnis,ras, agama,usia, profesi, bahkan orientasi seksual.
Berkembangnya stereotip dan prasangka :
Stereotipe (stereotype) merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka ; bahwa orang yang menganut stereotipe mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok tersebut.
Menurut Kornblum, stereotipe merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Menurut Banton, stereotipe mengacu pada kecenderungan bahwa sesuatu yang dipercayai orang bersifat terlalu menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta objektif. Stereotipe dapat benar akan tetapi seringkali tidak menggambarkan kondisi seutuhnya dari kelompok yang distereotipkan.
Sedangkan prasangka didefinisikan sebagai “pendapat yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui, menyaksikan dan menyelidiki sendiri”. Prasangka seringkali dikaitkan dengan aspek rasial. Prasangka ini disebut dengan istilah prasangka rasial. Prasangka rasial didefinisikan sebagai pendapat atau perasaan yang buruk terhadap ras tertentu tanpa pengetahuan atau alasan yang cukup.
Sikap prasangka yang timbul dapat juga disebabkan perikemanusiaan yang belum bersifat univesal. Hal ini biasanya terjadi ketika manusia yang satu bertemu dengan manusia lainnya yang dianggap asing. Kondisi ini tentunya tidak akan terjadi jikalau sejak awal perjumpaan masing-masing pihak mau mencoba tidak memberikan penilaian terlebih dahulu, melainkan masing-masing pihak bersedia membuka dirinya untuk mencoba memahami dan mau saling berbagi cerita tentang keberadaannya.
Prasangka seringkali mendorong terjadinya diskriminasi termasuk diskriminasi rasial. Diskriminasi rasial sendiri tidak lain merupakan gejala negatif dalam jiwa manusia. Praktik diskriminasi rasial inilah yang kemudian akan berkembang menjadi besar dan merusak sendi-sendi kemanusiaan universal.
Hubungan antara prasangka dan fenomena rasisme sangat erat. Fenomena rasisme sebagai suatu gejala selalu hadir berdampingan dengan etnosentrisme, diskriminasi dan prasangka rasial. Artinya, bila rasisme merupakan suatu sistem kepercayaan atau ideologi, maka prasangka rasial adalah superstruktur ideologis.
Prasangka (prejudice) merupakan suatu istilah yang mempunyai berbagai makna, namun dalam kaitannya dengan hubungan antarkelompok mayoritas-minoritas, istilah ini mengacu kepada sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak menyenangkan.
Sikap ini disebut prasangka sebab dugaan yang dianut oleh orang yang berprasangka tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang memadai. Prasangka lahir dari adanya kekhawatiran dari kelompok mayoritas/minoritas, bahwa kelompok luar (out-group) akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kelompoknya.
Identitas primordial menonjol :
Primodialisme merupakan sebuah konsep sosio-kultural yang bersifat historis. Akan tetapi dalam kenyataan empirik, primordialisme dapat masuk ke ruang-ruang publik dan juga dalam kontestasi politik antar kelompok. Masuknya unsur-unsur primordialisme ke dalam ruang publik itulah yang berpotensi mendorong terjadinya gesekan antarkelompok etnik yang tidak jarang menimbulkan terjadinya konflik komunal.
Etnisitas, ras dan agama merupakan unsur-unsur yang membentuk primordialisme. Primordialisme adalah konsep yang menunjukkan adanya identifikasi kelompok dan kesetiaan terhadap unsur-unsur yang dibawa sejak lahir dan bersifat askriptif seperti ras, etnik, dan agama. Primordialisme sebenarnya bersifat netral dalam arti setiap kelompok dalam skala tertentu pasti memiliki kecenderungan terhadap unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya.
Adanya upaya mengasimilasikan suatu kelompok :
Keberadaan kelompok minoritas seringkali dianggap membahayakan bagi kelompok mayoritas. Oleh karena itu kelompok mayoritas senantiasa berupaya agar kelompok minoritas tersebut melebur ke dalam kebudayaan kelompok mayoritas. Hal itu misalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap kelompok mayoritas Cina.
Sebagai kelompok minoritas, orang Cina pada masa Orde Baru dipaksa untuk meninggalkan identitas primordial mereka dan membatasi ekspresi keagamaan dan budaya hanya di ruang-ruang budaya tertentu seperti pembatasan peringatan imlek di Klenteng. Mereka juga “diminta” tidak menggunakan nama keluarga mereka dan menggantinya dengan nama yang bersifat “nasional”.
Komentar
Posting Komentar